Minggu, November 25, 2012

Museum dan Pewarisan Jati Diri




Hilangnya sekitar 20 buku besar sebagai master piece koleksi yang pernah terjadi di Museum Radya Pustaka Solo tentu telah mengagetkan banyak kalangan. Betapa barang-barang bersejarah yang mampu menjelaskan jati diri bangsa Indonesia masa lalu mengalami perlakuan yang tidak semestinya. Termasuk 4 jilid buku Werna Werni Sinjang karangan Raja Keraton Kasunanan Paku Buwono X, yang memuat gambar motif batik Solo disertai cara pembuatannya.
Tentu masyarakat juga akan susah untuk masih mengingat hilangnya sejumlah arca batu dan perunggu koleksi Museum Radya Pustaka Solo yang diperkirakan berlangsung antara 22 Oktober 2006 sampai 7 Maret 2007. Tidak adanya perhatian terhadap peninggalan sejarah masyarakat jelas menyemarakkan praktik pencurian koleksi museum, yang suatu saat juga bisa menimpa atau sudah terjadi di museum-museum yang lain.
Masyarakat Indonesia telah mengepung alam fikiran kesehariannya dengan dunia industri dan selera modernitas sehingga melupakan museum yang terkesan kuno. Kapitalisme global dengan jargon efektif dan efesien telah mampu merubah jati diri masyarakat. Keterbukaan dan penghargaan sesama manusia dalam interaksi tawar-menawar di pasar tradisional, lenyap saat pasar modern datang dengan menawarkan privasi belanja masyarakat berupa rasa aman dan nyaman.
Perubahan sifat dasar masyarakat tersebut telah terjadi di banyak aspek, mulai dari pendidikan, politik, transaksi kekuasaan, dan pembangunan. Pragmatisme pencapaian hasil yang tidak mempedulikan proses menjadi perilaku kultural masyarakat. Maka, sekolah telah membunuh kemanusiaan dengan ketidakjujuran dalam ujian nasional, partai politik menawarkan kalangan selebritas sebagai calon legislatif tanpa proses kaderisasi, sampai pada pembusukan birokrasi kekuasaan pemerintahan yang berawal dari tidak rasionalnya gaji dengan standar kehidupan layak.
Dengan kondisi semacam itu, diperlukan kembali penggalian informasi budaya masa lalu dan memberi makna dalam konteks masyarakat masa kini. Ini tidak hanya terkait dengan karakter atau mentalitas yang tergerus, tetapi persoalan pelestarian budaya (heritage society) untuk membangun masa depan masyarakat yang lebih baik. Dan peran ini semestinya dijalankan dengan memosisikan museum sebagai poros pembangunan jati diri masyarakat.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya. Dengan demikian, yang harus dilakukan jika bangsa Indonesia benar-benar bertekad menjadi bangsa yang besar adalah mengenali jati dirinya terlebih dahulu. Namun jika masyarakat sudah tidak mempedulikan lagi tentang hakikat jati diri bangsa Indonesia, maka sangat dimaklumi jika arah pembentukan karakter generasi muda saat ini mengalami anomali perjalanan.
Berkenaan dengan tujuan tersebut, museum-museum yang di ada, terutama di Ibu Kota Jakarta, harus berubah dari sekadar tempat pameran benda-benda kuno menjadi pusat kajian budaya lokal yang mampu mentransformasikan gagasan budaya yang bernilai kultural tinggi menjadi strategi aplikatif, terapan, dan kekinian. Sebagai contoh refleksi sejarah sekaligus karakter generasi muda Indonesia adalah melalui pemaknaan ulang Museum Sumpah Pemuda.
Museum yang berada di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik keturunan Cina, Sie Kok Liong. Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah tinggal beberapa tokoh pergerakan, seperti Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifudin, dan A.K. Ghani. Sejak 1925 gedung tersebut menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java yang kebanyakan sebagai pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau  STOVIA. Selain memberikan inspirasi ketekunan dari kalangan terpelajar masa lalu, setidaknya tekandung maksud solidaritas sesama pemuda untuk mampu menjadi agent of social changes.
Keberadaan Museum Sumpah Pemuda yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 20 Mei 1973 dan diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974, tentu bukan hanya asal ada, tetapi dalam konteks pewarisan gagasan-gagasan untuk menjaga dan membangun identitas perjuangan kalangan muda Indonesia. Sudah mafhum bahwa gagasan perjuangan kalangan muda Indonesia masa lalu adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam berbangsa sekaligus mengawal berlakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Parahnya, ikrar “satu bahasa, bahasa Indonesia” tersebut terasa hilang makna setelah terjadinya imperialisasi bahasa asing secara akut terhadap bahasa Indonesia.
Di beberapa kota lain, museum dibangun karena memiliki kedekatan sejarah dengan lokalitas masyarakat. Insiden dan konflik yang diakibatkan bermacam-macam alasan sejarah dan masa lalu menimbulkan warna-warni museum. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Museum Yogya Kembali menggambarkan kegigihan dan kelihaian strategi pasukan rakyat dalam melawan Belanda yang dilandasi adanya kebersamaan masyarakat. Untuk menambah warna museum, sejarah perjuangan kalangan muda Indonesia masa kini juga layak untuk didioramakan dalam Museum Sumpah Pemuda yang kini semakin terasingkan.
Dengan kata lain, museum sebagai kepentingan publik mesti mampu menjadi counter budaya masyarakat karena posisinya sebagai salah satu kepentingan publik. Secara kompetitif, museum sebagai ruang publik telah terkalahkan oleh ruang publik lain yang mampu menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas. Untuk itu, gagasan budaya dari museum-museum yang ada, harus direkayasa untuk dapat dirasakan masa kini, sehingga terjadi diferensiasi koleksi disertai positioning yang jelas dalam promosi untuk mengawal jati diri lokalitas masyarakat. Tentu langkah konkret tersebut harus dimulai dari dunia pendidikan untuk menggerakkan kembali belajar dari museum

Written by Muh. Khamdan

http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1818%3Amuseum-dan-pewarisan-jati-diri&catid=159%3Aartikel-kontributor&Itemid=284
 

0 komentar:

Posting Komentar