Hilangnya
sekitar 20 buku besar sebagai master piece koleksi yang pernah terjadi
di Museum Radya Pustaka Solo tentu telah mengagetkan banyak kalangan. Betapa
barang-barang bersejarah yang mampu menjelaskan jati diri bangsa Indonesia
masa lalu mengalami perlakuan yang tidak semestinya. Termasuk 4 jilid buku Werna
Werni Sinjang karangan Raja Keraton Kasunanan Paku Buwono X, yang memuat
gambar motif batik Solo disertai cara pembuatannya.
Tentu
masyarakat juga akan susah untuk masih mengingat hilangnya sejumlah arca batu
dan perunggu koleksi Museum Radya Pustaka Solo yang diperkirakan berlangsung
antara 22 Oktober 2006 sampai 7 Maret 2007. Tidak adanya perhatian terhadap
peninggalan sejarah masyarakat jelas menyemarakkan praktik pencurian koleksi
museum, yang suatu saat juga bisa menimpa atau sudah terjadi di museum-museum
yang lain.
Masyarakat
Indonesia telah mengepung alam fikiran kesehariannya dengan dunia industri
dan selera modernitas sehingga melupakan museum yang terkesan kuno.
Kapitalisme global dengan jargon efektif dan efesien telah mampu merubah jati
diri masyarakat. Keterbukaan dan penghargaan sesama manusia dalam interaksi
tawar-menawar di pasar tradisional, lenyap saat pasar modern datang dengan
menawarkan privasi belanja masyarakat berupa rasa aman dan nyaman.
Perubahan
sifat dasar masyarakat tersebut telah terjadi di banyak aspek, mulai dari
pendidikan, politik, transaksi kekuasaan, dan pembangunan. Pragmatisme
pencapaian hasil yang tidak mempedulikan proses menjadi perilaku kultural
masyarakat. Maka, sekolah telah membunuh kemanusiaan dengan ketidakjujuran
dalam ujian nasional, partai politik menawarkan kalangan selebritas sebagai
calon legislatif tanpa proses kaderisasi, sampai pada pembusukan birokrasi
kekuasaan pemerintahan yang berawal dari tidak rasionalnya gaji dengan
standar kehidupan layak.
Dengan
kondisi semacam itu, diperlukan kembali penggalian informasi budaya masa lalu
dan memberi makna dalam konteks masyarakat masa kini. Ini tidak hanya terkait
dengan karakter atau mentalitas yang tergerus, tetapi persoalan pelestarian
budaya (heritage society) untuk membangun masa depan masyarakat yang
lebih baik. Dan peran ini semestinya dijalankan dengan memosisikan museum
sebagai poros pembangunan jati diri masyarakat.
Bangsa
yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya. Dengan demikian, yang
harus dilakukan jika bangsa Indonesia benar-benar bertekad menjadi bangsa
yang besar adalah mengenali jati dirinya terlebih dahulu. Namun jika
masyarakat sudah tidak mempedulikan lagi tentang hakikat jati diri bangsa
Indonesia, maka sangat dimaklumi jika arah pembentukan karakter generasi muda
saat ini mengalami anomali perjalanan.
Berkenaan
dengan tujuan tersebut, museum-museum yang di ada, terutama di Ibu Kota
Jakarta, harus berubah dari sekadar tempat pameran benda-benda kuno menjadi
pusat kajian budaya lokal yang mampu mentransformasikan gagasan budaya yang
bernilai kultural tinggi menjadi strategi aplikatif, terapan, dan kekinian.
Sebagai contoh refleksi sejarah sekaligus karakter generasi muda Indonesia adalah
melalui pemaknaan ulang Museum Sumpah Pemuda.
Museum
yang berada di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda
merupakan sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik keturunan
Cina, Sie Kok Liong. Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah tinggal
beberapa tokoh pergerakan, seperti Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir
Sjarifudin, dan A.K. Ghani. Sejak 1925 gedung tersebut menjadi tempat tinggal
pelajar yang tergabung dalam Jong Java yang kebanyakan sebagai pelajar
Sekolah Pendidikan Dokter Hindia atau STOVIA. Selain memberikan
inspirasi ketekunan dari kalangan terpelajar masa lalu, setidaknya tekandung
maksud solidaritas sesama pemuda untuk mampu menjadi agent of social
changes.
Keberadaan
Museum Sumpah Pemuda yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada
20 Mei 1973 dan diresmikan kembali oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974,
tentu bukan hanya asal ada, tetapi dalam konteks pewarisan gagasan-gagasan
untuk menjaga dan membangun identitas perjuangan kalangan muda Indonesia.
Sudah mafhum bahwa gagasan perjuangan kalangan muda Indonesia masa
lalu adalah mewujudkan persatuan dan kesatuan dalam berbangsa sekaligus
mengawal berlakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
Parahnya, ikrar “satu bahasa, bahasa Indonesia” tersebut terasa hilang makna
setelah terjadinya imperialisasi bahasa asing secara akut terhadap bahasa
Indonesia.
Di
beberapa kota lain, museum dibangun karena memiliki kedekatan sejarah dengan
lokalitas masyarakat. Insiden dan konflik yang diakibatkan bermacam-macam
alasan sejarah dan masa lalu menimbulkan warna-warni museum. Di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Museum Yogya Kembali menggambarkan kegigihan dan
kelihaian strategi pasukan rakyat dalam melawan Belanda yang dilandasi adanya
kebersamaan masyarakat. Untuk menambah warna museum, sejarah perjuangan
kalangan muda Indonesia masa kini juga layak untuk didioramakan dalam Museum
Sumpah Pemuda yang kini semakin terasingkan.
Dengan
kata lain, museum sebagai kepentingan publik mesti mampu menjadi counter
budaya masyarakat karena posisinya sebagai salah satu kepentingan publik.
Secara kompetitif, museum sebagai ruang publik telah terkalahkan oleh ruang
publik lain yang mampu menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas. Untuk
itu, gagasan budaya dari museum-museum yang ada, harus direkayasa untuk dapat
dirasakan masa kini, sehingga terjadi diferensiasi koleksi disertai positioning
yang jelas dalam promosi untuk mengawal jati diri lokalitas masyarakat. Tentu
langkah konkret tersebut harus dimulai dari dunia pendidikan untuk
menggerakkan kembali belajar dari museum
Written by Muh. Khamdan
|
Minggu, November 25, 2012
Museum dan Pewarisan Jati Diri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar